www.pusatkabar.id –
Dalam dunia pekerja migran, banyak cerita haru dan tragis yang menyertai perjalanan para individu yang berani meninggalkan rumah demi mencari kehidupan yang lebih baik. Salah satu kisah tersebut adalah tentang Ni Ketut Nurhayati, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Bali, yang ditemukan tak bernyawa di Malaysia. Temuan jasadnya pada Selasa, 31 Desember 2024, mengungkapkan fakta kelam seorang wanita yang pergi berjuang demi keluarganya.
Ketika mendengar berita tentang kehilangan seseorang yang kita cintai, perasaan pilu dan duka tak terelakkan. Apalagi jika kehilangan tersebut disebabkan oleh tindakan kekerasan. Nurhayati terpaksa meninggalkan delapan anaknya untuk bekerja di negeri orang, dengan harapan dapat mengubah nasib keluarganya. Untungnya, sebelum berangkat, ia telah menjalani pelatihan yang mempersiapkannya untuk tantangan yang akan datang.
Keinginan Nurhayati untuk Mengubah Nasib Keluarga
Dalam dunia pekerja migran, banyak sekali perempuan seperti Nurhayati yang terpaksa membuat pilihan sulit. Meski sering mengalami sakit-sakitan, ia tetap bertekad untuk memberdayakan dirinya demi ekonomi keluarga. Suaminya, Komang Suwinten, mengungkapkan bahwa keputusan tersebut bukanlah hal yang mudah. Namun, dorongan untuk memberikan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya menjadi alasan utama di balik niatnya.
Dalam banyak kasus, perempuan yang bekerja sebagai TKW sering kali menghadapi stigma atau pandangan negatif dari masyarakat. Namun, bagi Nurhayati, bekerja di luar negeri adalah bentuk pengorbanan dan cinta yang tulus untuk keluarganya. Dengan membekali diri melalui pelatihan di Lembaga Pelatihan Kerja, ia berusaha memperkaya keterampilannya agar dapat bersaing di negara lain.
Strategi Menghadapi Ketidakpastian dan Kesedihan
Setelah tiga bulan bekerja, Nurhayati tiba-tiba menghilang dari kontak. Suwinten mengungkapkan betapa beratnya perasaannya tidak mendengar kabar dari istrinya. Hal ini menjadi pemandangan umum bagi banyak pekerja migran yang terjebak dalam situasi sulit tanpa bazar tempat bertanya. Hilangnya komunikasi seringkali membuat keluarga di rumah merasa kehilangan harapan, menanti kabar baik yang tak kunjung datang.
Perjuangan Suwinten sebagai kepala keluarga pun taklah mudah. Keterbatasan ekonomi dan kesedihan yang menghimpit menjadikannya penerus tanggung jawab setelah ditinggal Nurhayati. Namun, ia tak lelah berusaha. Dukungan dari berbagai pihak dan relawan yang membantu proses pemulangan jenazah memberikan sedikit harapan di tengah kesedihan mendalam.
Kisah Nurhayati menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh banyak PMI. Dengan harapan yang menyala dalam hati, ia berusaha menyelamatkan keluarganya dari kesulitan. Kini, setelah tragedi tersebut, kisahnya menjadi pendorong bagi penerus pekerja migran untuk tetap berjuang meski dalam keadaan sulit.
Semoga contoh perjuangan seperti ini mampu membuka mata banyak orang tentang pentingnya menghargai pengorbanan yang dilakukan para pekerja migran untuk keluarga mereka. Pengorbanan yang teramat besar ini pantas mendapatkan penghormatan dan dukungan lebih dari masyarakat serta pemerintah. Kehilangan Nurhayati mengingatkan kita akan ketegaran dan cinta seorang ibu yang berjuang untuk keluarga, meski harus merasakan pahitnya kehidupan di negeri orang.