www.pusatkabar.id – Pada tahun 2025, Amerika Serikat kembali membuat langkah kontroversial dengan keluar dari UNESCO, lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya di bawah naungan PBB. Keputusan ini direspons keras oleh China, yang menilai tindakan tersebut tidak mencerminkan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh negara besar.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, mengecam keputusan itu, menyatakan bahwa tindakan seperti ini tidak menunjukkan sikap yang seharusnya dimiliki oleh sebuah negara besar. Ia menegaskan bahwa dukungan China terhadap peran UNESCO dalam komunitas internasional tetap kuat dan tidak akan tergoyahkan.
Guo Jiakun menyoroti fakta bahwa langkah ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh AS. Ia mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah menarik diri dari UNESCO tiga kali dan masih memiliki tunggakan iuran keanggotaan yang belum dilunasi.
Posisi China Terhadap UNESCO dan Multilateralism
Dalam responnya, China mendorong negara-negara lain untuk bertahan pada komitmen kerja sama internasional yang diusung oleh PBB. Guo mengajak semua negara untuk menegaskan kembali keyakinan mereka pada multilateralisme dan mengambil langkah konkret demi mendukung sistem internasional yang berfokus pada PBB.
China bertindak sejalan dengan ide bahwa dialog dan kerja sama antarnegara adalah kunci untuk mencapai ketenangan dan pembangunan global. Sikap ini menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga internasional dalam menjaga hubungan antarnegara yang harmonis.
Dengan menarik diri dari UNESCO, AS menyatakan bahwa mereka tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga tersebut dan merasa agendanya bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini mendorong China untuk semakin menekankan pentingnya kerjasama dalam menyelesaikan isu-isu global.
Kritik dan Pandangan AS terhadap UNESCO
Pernyataan resmi dari Gedung Putih mengindikasikan bahwa keputusan ini diambil di bawah kebijakan “America First” yang menyikapi skeptis terhadap lembaga-lembaga internasional. Dalam pandangan pemerintah AS, UNESCO dianggap mendukung agenda yang dianggap memecah belah dan tidak sejalan dengan kepentingan rakyat Amerika.
Juru bicara Gedung Putih, Anna Kelly, berpendapat bahwa UNESCO tidak mampu menjalankan misinya dengan baik, malah mempromosikan agenda yang merugikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai nasib kerjasama internasional ke depan, khususnya di bidang pendidikan dan budaya.
Namun, Departemen Luar Negeri AS juga menyoroti isu-isu lain seperti penerimaan Palestina sebagai anggota, yang dianggap bertentangan dengan kebijakan luar negeri mereka. Ini menunjukkan adanya ketegangan yang lebih kompleks di level diplomatik internasional.
Reaksi dan Harapan dari Pihak UNESCO
Kepala UNESCO, Audrey Azoulay, mengekspresikan kekecewaannya yang mendalam atas keputusan ini. Namun, ia menegaskan bahwa organisasi ini telah menyadari kemungkinan keluarnya AS dan telah mempersiapkan langkah-langkah untuk menghadapi situasi tersebut.
Azoulay menambahkan bahwa pengaruh keuangan dari keluarnya AS diharapkan tidak akan berdampak signifikan pada program-program yang masih berjalan. Hal ini mengisyaratkan bahwa UNESCO memiliki rencana alternatif untuk memastikan bahwa tugas dan tanggung jawabnya tetap terpenuhi, meskipun tanpa dukungan AS.
Komitmen UNESCO terhadap pendidikan dan perlindungan warisan budaya di seluruh dunia tetap diutamakan, meskipun menghadapi tantangan besar dari berbagai sisi. Dengan demikian, langkah-langkah strategis akan terus dilakukan untuk menjaga keberlangsungan misinya.
Proyeksi Ke Depan dan Tantangan Global
Pembelahan yang terjadi akibat keputusan AS untuk keluar dari UNESCO tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara anggota lainnya. Muncul pertanyaan mengenai bagaimana hal ini akan mempengaruhi kerjasama pendidikan dan budaya di tingkat global di masa depan.
Perilaku Amerika Serikat yang selama ini skeptis terhadap lembaga internasional mengindikasikan adanya perubahan besar dalam lanskap diplomasi global. Negara-negara lain mungkin perlu menyesuaikan strategi mereka dalam menghadapi ketidakpastian ini dengan meningkatkan soliditas dalam kerja sama multilateral.
Keputusan ini dapat berujung pada perlunya penegasan kembali nilai-nilai dasar yang mengikat komunitas internasional, termasuk pentingnya dialog, negosiasi, dan saling pengertian. Semua pihak diharapkan dapat melakukan refleksi dan evaluasi atas model kerja sama yang ada demi kestabilan global.