www.pusatkabar.id –
Pati, Jawa Tengah, baru-baru ini mengalami ketegangan politik yang serius akibat kebijakan fiskal yang diputuskan oleh Bupati Sudewo. Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan – Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen menyebabkan gelombang protes yang luar biasa, yang pada akhirnya mendorong tuntutan agar ia mengundurkan diri.
Reaksi masyarakat sangat kuat, memaksa kebijakan tersebut untuk dicabut. Namun, meski keputusan itu diambil, amarah warga tidak reda, dan ribuan orang masih turun ke jalan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Pusat kota Pati menjadi saksi aksi unjuk rasa yang melibatkan pendudukan ruang publik dan simbol-simbol protes, seperti keranda jenazah, yang menggambarkan kekecewaan mendalam atas kepemimpinan Bupati Sudewo.
Dalam konteks ini, teori legitimasi yang dikemukakan oleh David Easton sangat relevan. Menurutnya, legitimasi pemimpin bertumpu pada dukungan terhadap kebijakan yang dikeluarkannya beserta kepercayaan jangka panjang dari rakyat. Di Pati, kedua aspek ini mengalami keruntuhan yang sangat mencolok setelah kebijakan kenaikan pajak tersebut diterapkan.
Dampak Kenaikan Pajak terhadap Kepercayaan Publik
Kenaikan perpajakan yang signifikan ini mengakibatkan hilangnya dukungan publik yang sebelumnya mungkin masih ada. Masyarakat merasa dikhianati dan diabaikan, yang menjadikan kepercayaan mereka terhadap pemerintah semakin menipis. Dalam pandangan mereka, tindakan Bupati menjadikan dirinya sosok yang semakin jauh dari realitas kehidupan rakyat.
Pernyataan Bupati Sudewo yang menegaskan bahwa dirinya tidak akan gentar meskipun 50.000 orang turun ke jalan semakin memperburuk citranya di mata publik. Melalui lensa teori framing, pernyataan ini menciptakan penanaman gambar bahwa pemimpin tersebut menantang secara terbuka terhadap warganya, tanpa mempertimbangkan perasaan dan kepentingan mereka.
Sikap menantang ini memperburuk ketegangan yang ada, dan perlahan situasi sosial di Pati berubah menjadi sebuah pertarungan identitas. Tujuan awal demonstrasi tidak lagi terbatas pada penolakan akan kebijakan pajak, tetapi meluas menjadi penuntutan untuk menggulingkan Bupati, yang dianggap sebagai simbol ketidakadilan.
Simbol dan Pesan dalam Aksi Unjuk Rasa
Unjuk rasa yang terjadi di Pati memperlihatkan pentingnya simbolisme dalam komunikasi politik. Aksi-aksi yang dilakukan, termasuk penggunaan keranda jenazah, bukanlah sekadar tindakan emosional melainkan bentuk komunikasi visual yang sarat makna. Keranda itu melambangkan kematian moral seorang pemimpin yang tidak peka terhadap kebutuhan rakyatnya.
Truk-truk yang terlibat dalam demonstrasi juga membawa pesan yang kuat. Mereka bukan hanya alat transportasi, tetapi juga simbol kekuatan dan keteguhan dari para demonstran. Pendudukan alun-alun sebagai pusat kota menegaskan klaim masyarakat atas ruang kekuasaan, menuntut perhatian yang seharusnya relevan dalam pengambilan keputusan pemerintah.
Ketegangan yang muncul di Pati jelas menunjukkan bahwa dua jalur tekanan kini terbentuk. Tekanan dari massa di jalanan dan potensi pemakzulan oleh DPRD menciptakan suasana yang tidak stabil. Jika kedua kekuatan ini bersatu, pemakzulan bisa menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari.
Implikasi dan Pembelajaran bagi Pemerintah Daerah Lain
Situasi di Pati menjadi preseden penting, menunjukkan bagaimana gerakan sosial lokal bisa mempengaruhi kebijakan hingga tingkat nasional. Kejatuhan seorang pemimpin tidak hanya disebabkan oleh pelanggaran hukum, melainkan juga oleh hilangnya kepercayaan publik yang meluas. Hal ini memperlihatkan bahwa legitimasi sosial memiliki peranan sangat penting.
Robert Putnam menekankan modal sosial, yaitu jaringan kepercayaan antara rakyat dan pemimpin, sebagai elemen kunci dalam pemerintahan. Sayangnya, modal sosial ini kini runtuh di Pati, dan masyarakat merasa pemerintah tidak lagi peduli dengan kondisi mereka. Kebijakan yang tidak sensitif menjadi bagian dari dinamika kompleks yang memperburuk perasaan terasing di kalangan masyarakat.
Meski Bupati Sudewo masih memegang jabatan secara hukum, kenyataannya ia kehilangan legitimasi untuk memerintah secara efektif. Kebijakan apa pun yang akan diambilnya ke depannya kemungkinan besar akan dicurigai atau ditolak oleh masyarakat. Situasi ini memperlihatkan betapa pentingnya pemimpin untuk menciptakan hubungan yang sehat dan komunikatif dengan rakyat.
Peristiwa di Pati memberi pelajaran berharga bagi kepala daerah lainnya. Kekuasaan yang sah secara hukum dapat dengan cepat kehilangan relevansinya ketika kepercayaan rakyat mulai pudar. Tiga faktor utama menjadi sorotan: kebijakan yang membebani masyarakat, komunikasi yang menegangkan, dan simbol-simbol yang tepat dalam aksi protes.
Cerita tentang Pati tidak hanya tentang protes menentang pajak yang tinggi. Ia mengisahkan bagaimana rapuhnya prinsip kepercayaan politik ketika pemimpin gagal memahami dan mendengarkan aspirasi rakyat. Dengan latar belakang ini, perjalanan politik di Pati tampaknya masih jauh dari selesai dan menyisakan banyak pertanyaan bagi masa depan.